Kota Yang Tak Pernah Istirah

Aku menulis ini sambil menatap mie ayam 20 ribu dengan rasa yang biasa-biasa saja itu.

Rupanya, 8 bulan tinggal di sini, belum mampu membuatku beradaptasi pada harga-harga yang kadang tak masuk akal. Terlebih dengan rasa yang tak seenak ketika jajan di Sumatera. Apalagi kalau dibandingkan dengan masakan Mbah, hahhh kalah jauh! wkwk.

Meski tanggal 2 Syawal alias hari kedua lebaran ini adalah tanggal “horor” dalam sejarah kenanganku, nyatanya aku lagi-lagi mencetak tanggal horor itu tahun ini. Jika dua tahun lalu adalah hari terakhir notif favorit itu menghiasi layar hp sebelum sosoknya pergi tanpa pernah kembali, maka tahun ini aku memenuhinya dengan sesak dan pertanyaan, “Kenapa aku memilih tiket itu?”

Aku benci pulang, karena setiap hangat dan bahagia yang ku dapatkan padanya benar-benar seperti ilusi. Bagaimana mungkin kehangatan itu hanya terjadi sekilas, lalu tiba-tiba kita sudah harus kembali pada hiruk pikuk dan tugas-tugas?

Terlebih, kenekatan memilih tiket pulang tepat di hari pertama lebaran. Ya, rasanya seperti aku tak pulang tahun ini, tapi tangisnya jauh lebih deras. Aku tau, kita semua pasti akan beradaptasi, lagi dan lagi pada rindu-rindu itu. Tapi kenapa, proses adaptasi setelah pulang beberapa pekan itu selalu terasa menyakitkan?

Aku tiba di kota ini tepat ketika adzan maghrib berkumandang. Bahkan di hari yang umumnya menjadi hari istirahat bagi siapapun, kota ini tetap berjibaku pada rutenya -hampir tak ada yang berubah- kecuali jalanan yang agak lengang meski tetap macet di beberapa titik, dan eskalator yang dipenuhi obrolan-obrolan pada sesama anggota keluarga, -bukan rutukan orang-orang hampir terlambat yang merasa jalannya terhalangi oleh seseorang yang berdiri di sisi kanan eskalator. Tapi sisanya sama saja. Abang sate, bakso, es krim, bakpao, nasi padang, hingga cilok dan tahu bulat tetap berdagang seperti biasa, seperti tak ingin melewatkan sehari saja kesempatan untuk menggaet pembeli.

Tiba di kos pun tak jauh berbeda, -kecuali sepi karena beberapa dari mereka masih di kampung halaman-, kucing-kucing yang asik bermalas-malasan, jemuran yang penuh dengan baju-baju keriting karena tak kunjung diangkat pemiliknya, lampu lorong yang mati karena tak dipedulikan penghuninya, dan semua hal-hal normal lainnya. Hanya saja, kenormalan itu semakin membuat jiwa berontak; “Seharusnya detik ini aku masih menikmati jatahku di rumah yang masih tersisa 2 hari itu”

Lalu tiba-tiba dengan tidak sopannya, ingatan tentang ujian dan tugas yang belum ku kerjakan sama sekali itu melintas dan mengejek. Seolah hina sekali diri yang tak buka muqorror selama liburan ini.

Mendadak aku mengantuk dan ingin tidur panjang sekali, agar tak teringat muqorror-muqorror dan tugas-tugas semester 6 yang sedang berlomba memberi tugas paling banyak.

Meski rambut yang berguguran kian banyak, keinginan menariknya hingga botak semakin gebu, dan ketakutan dari segala penjuru otak, aku yakin aku bisa tidak gila kok. Baiklah, untuk sementara, mari kita akhiri!

Jakarta, 11 April 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Lagi-lagi) Tentang Kebaikan Tuhan

Seperti Halnya Kamu

Tolong Tetap Hidup