Tolong Tetap Hidup


“Tolong tetap hidup lebih lama” Bisikku berkali-kali pada diriku sendiri. Ada banyak hal melelahkan, menyakitkan, dan membuat diri ingin menyerah karena kehilangan harap.

Tapi pada akhirnya, lagi dan lagi, keteguhan orang-orang di Palestina mengetuk hatiku. 

Hidup mereka yang seolah sudah “ditakdirkan” mati saja, tetap berjuang mencari keadilan itu. Tetap teguh memperjuangkan apa yang menjadi hak mereka, tak peduli seberapa menyakitkannya itu.

Dan untuk yang kesekian kalinya, hatiku terenyuh dan terluka. Bayangkan betapa sakit hati mereka kala menanggung luka yang disebabkan oleh orang yang mereka tolong bertahun lalu saat tak berdaya. Sementara dunia masih terus diam.


Di another day “tiba-tiba pagi” ini, aku izin sedikit berbisik tentang lelah. Aku rasa, setiap orang berhak atas rasa lelah. Pun aku, kala kepala berasa ingin meledak, mata panas, dan mual kembali menyerang. Jam 04.19 dan tugas-tugas “gila” itu masih belum kelar. Sementara mataku belum sempat terpejam, aku juga sadar, bahkan kitab tarikh adab yang sudah ku persiapkan sejak siang itu belum sempat tersentuh.


Tapi gapapa, aku yang memilih jalan ini, maka aku janji tak akan berhenti begitu saja. Sama seperti saat aku memilih untuk mencintaimu yang bahkan lupa jika punya hati itu, bukankah aku berhasil membuktikannya hingga akhir?

Hingga engkau sendiri yang menyerah dan mati.


Ditemani album Chen yang baru rilis 28 Mei ini, aku mendadak teringat sebuah kenyataan: Rupanya, meski telah mengaku sembuh ratusan kali, untuk kembali menyukai genre kesukaanku seperti dulu bukanlah hal yang mudah. 

Entah untuk yang keberapa, sesak saat membaca kisah-kisah manis, duka saat menonton adegan romantis, hingga lagu-lagu bernada manis itu mengacaukan moodku dengan luar biasa.

Padahal semua orang tau, roman adalah genre yang “aku” banget.


Aku berhasil mengubah banyak hal.

Ya, di peringatan tahun ke 2 kematianmu ini, aku bahkan telah menemukan duniaku yang baru. Dunia yang mengenalkanku pada banyak hal; salah satunya perkenalan tentang warna-warni dunia yang bisa ku dapatkan tak hanya darimu.


Untuk yang kesekian, aku ingin meminta maaf karena kenangan tentangmu lagi-lagi seolah menjadi “penghalangku” untuk tetap hidup.

Padahal tidak demikian, aku hanya mengenangmu karena rindu. Bukan karena ingin menikam jasadmu yang sudah kaku itu.


Aku hampir menyelesaikan 3/4 perjalanan yang dulu engkau temani di permulaannya. Sedikit menyiksa, bahkan hampir 4 bulan aku bolak-balik puskesmas untuk mengobati serpihan luka yang ternyata “terpendam” menjadi luka sungguhan.

Tapi tenang, aku hampir sembuh. Meski kata ibu dokter yang sekarang sudah familiar sekali denganku, butuh waktu beberapa bulan untuk sungguhan sembuh. 

Kali ini aku tidak lagi ingin sembuh sendirian.

Aku menyadari bagaimana karunia Tuhan menghadirkan banyak manusia untuk menemaniku hidup dan sembuh. Cukup tahun itu aku berpikir kematian tak begitu menakutkan setelah kepergianmu.

Saat ini, biarkan aku tetap hidup dengan sisa harap pada Tuhanku. Aku ingin hidup sebaik yang selalu kau yakinkan padaku dulu.

Hampir subuh, dan aku ingin merasakan sejuk udara subuh itu.

Aku pamit,

Aku hanya ingin tetap hidup. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Lagi-lagi) Tentang Kebaikan Tuhan

Seperti Halnya Kamu