Menjadi Manusia Tak Berhati


Pada suatu kesempatan wawancara, aku pernah ditanya seperti ini;

“Apa kekurangan yang paling kamu sadari?”

Aku menjawab singkat, “Terlalu baik”

Tapi ia meresponnya dengan tawa, dikiranya hendak merendah agar menjadi tinggi.

Aku menatapnya sejurus, meski termaksuk salah satu wawancara yang gagal –karena tak mempelajari platform itu sama sekali-, setidaknya aku berhasil menyampaikan kegundahanku saat itu.

“Ketika menjadi manusia baik, engkau akan bahagia. Hidupmu akan tenang. Urusanmu akan lancar. Tapi bagaimana jika kebaikan itu terlalu?”

Aku menghirup napas sejenak, “Memang, Rasulullah bilang; Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Tapi, apakah ada pada kalimatnya yang mengandung kebolehan kepada kita untuk disia-siakan begitu saja dengan kebaikan itu sendiri?”

Aku bukan sedang mengaku menjadi manusia paling baik di muka bumi. Aku hanya tengah gundah, saat diriku sendiri kesulitan menolak hal-hal yang tak ku inginkan. Tengah terluka, kala terus dimanfaatkan dengan sanjungan-sanjungan palsu. Pun kerap kali hancur sendirian karena tak memercayai siapapun.

Pertanyaan yang paling sering menghampiriku adalah, “Kenapa engkau begitu baik? Kenapa engkau mau menolongku di saat tak seorangpun bersedia?” tapi kemudian mereka akan melakukan itu lagi dan lagi berkali-kali.
 
Aku bukan ingin diingat ketika mereka bahagia, hanya saja, bisakah memberiku ruang untuk berkata tidak kala hatiku terluka? Bisakah memberiku ruang untuk menangis tanpa dilihat meski saat itu yang terluka lebih parah justru engkau? Dan bisakah membiarkanku abai, tanpa menyalahkan?


Aku menulis ini, kalau-kalau engkau pun sama.
 
Tak sanggup menolak, karena tau persis bagaimana lukanya ketika ditolak.

Tak sanggup berkata tidak, karena tak ingin orang-orang yang kau sayang kecewa sepertimu yang berkali-kali ditolak dan dikecewakan.


Dan aku menulis ini ketika akhirnya aku bisa berdamai.
Ketika akhirnya aku bisa menolak hal-hal yang tak ku inginkan.

Ketika akhirnya aku bisa tak peduli, pada hal-hal yang bukan kewajibanku untuk peduli.


Untukmu, yang hatinya begitu tulus dan halus,
Tapi berkali-kali dilukai makhluk tak bertanggung jawab.

Untukmu, yang pernah hancur begitu lebur,
Hingga berjanji agar tak pernah melukai siapapun di dunia ini


Harapan dan kekecewaan itu bersahabat
Manusia dan luka itu begitu akrab
Maka menurutku, sesekali kau lupakan fungsi “hati”mu untuk menyayangi tak apa
Menjadi manusia tak berhati, selama masih berpegang teguh pada asas-asas kemanusiaan, sesekali tak masalah.


Egomu sesekali juga butuh asupan,
Mentalmu butuh kepercayaan,
Dan otakmu butuh sekat, agar lebih gampang membedakan hal-hal baik dan bathil.


Jangan terlalu banyak memendam,
Belajarlah mengungkapkan.
Temukan seseorang yang bersedia mendengarmu dengan sungguh,
Jika belum, tabunglah dalam bentuk tulisan-tulisan.
Kisahkan semuanya pada Tuhamu,
Agar lega, segala penat dan gundah.


Terakhir, tersenyumlah!
Ada begitu banyak manusia yang mencintaimu,
Tapi kau abai, dan tak pedulikan.

Medan, 17 Oktober 2022 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Lagi-lagi) Tentang Kebaikan Tuhan

Seperti Halnya Kamu

Tolong Tetap Hidup