Antara Hafalan, Sepi, dan Target Mimpi

Dibuat dengan tujuan sebagai pengingat diri dan pelega pikiran. Sebab jika ku ceritakan pada dia yang tak sepemikiran akan mengundang anggapan tak sesuai di hati. Jika tak sengaja terbaca olehmu, silahkan klik tombol kembali, atau silahkan membaca sampai habis. Agar kita sama-sama tak salah persepsi.

 

Minggu pagi, dengan embun sejuk sisa hujan malam tadi.

“Jadi bagaimana cara anti mempertahankan hafalan?” tanya ustadzah setelah aku berhasil menyelesaikan ikhtibar mingguan, seperti biasa. Nama beliau, Ustadzah Husnul Khotimah. Jarak umur ku dengannya hanya berkisar 5 tahun. Tapi sungguh, sejak awal aku sudah jatuh cinta pada akhlaknya. Ditambah sisi paling membahagiakan itu adalah, ketika beliau meluangkan banyak waktunya untuk sekedar berbincang dan mengingatkanku pada banyak hal.  

“Ana....banyak futur-nya Ustadzah... ditambah kondisi lingkungan yang tidak sama. Seolah terasing dan berbeda sendiri. Belum lagi, ana yang terkadang dipandang aneh sebab masih menggunakan hijab meski sekedar ke kamar mandi, atau mengenakan kaos kaki padahal hanya pergi ke warung depan” kisahku.

“Kenapa nggak mondok lagi aja? Atau cari pondok yang bisa bantu mendukung. Berjuang sendiri itu nggak mudah loh nak”

Aku terdiam, sebab tak mungkin rasanya jika aku menjelaskan bahwa tempat ini, awalnya hanyalah pelarian. Sebelum akhirnya aku benar-benar jatuh cinta pada semua ketetapanNya.

“Ana...”lirihku.

“Udah gapapa. Ana yakin anti bisa. Banyakin istighfar aja. Pas liat cowok ganteng istighfarin. Pas nggak sengaja denger musik, cepet-cepet istighfar masuk kamar. Mending tidur atau pilih kegiatan lain” ucapnya dengan tatapan penuh kasih. Sementara aku masih tergugu, mencoba mencerna semua kalimat itu.

Kemudian aku sadar, diri rasanya begitu lalai.

Ingat sekali bagaimana sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, yang isinya begini: “Dari Abi Hurairah dia berkata, "Rasulullah S.A.W. bersabda : "Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing”

Sebuah hadist, yang juga pernah disalah tafsirkan hingga menuju kepada kebinasaan.

Tapi rasa-rasanya begitu sepi dan hampa. Seolah jalanku salah dan begitu sulit.

Bagaimana ketika anak-anak menggemaskan itu bertanya ini itu, tentang Tiktok misalnya. Aku justru tak paham apa-apa. Ketika mereka  bercerita army, dan boyband lain yang akhirnya berakhir sama; “Waduh Kakak nggak paham itu sayangg”

Meski, kemudian jalan ini juga yang terus membuatku serasa dijaga amat baik oleh Allah. Ketika terlambat datang les misalnya, dan kursi kosong yang tersisa hanya yang disebelah laki-laki, mereka dengan cepat memintaku duduk di bangku yang paling membuatku nyaman. Ketika memanggil, ketika menegur ketika mengajak. Semuanya seolah memperlakukan dengan baik. Seolah tau sekali, jika aku mencoba membiasakan diri dengan berbagai kondisi baru ini.

Atau ketika seseorang bertanya, “Kak, pacarmu mana?”, yang lain akan segera menimpali, “Ya Kakak ini nggak pacaranlah”

Semuanya terasa berbeda memang.

Meski sedikit demi sedikit, diri mulai belajar toleransi, pada sesuatu yang salah.

Aku,.

Aku tau, detik ini aku seolah berada pada posisi paling nyaman yang ku punya. Hidup dengan prinsip diri, tanpa aturan ini itu yang mengekang kebebasan diri.

Tapi aku seolah lupa. Ada satu hal yang sesungguhnya menjadi alasan kenapa aku harus tetap bertahan pada keterasingan dan ketidak nyamanan; al-Qur’an. Entah benar-benar lupa, atau sok-sok lupa, ak bersikap seolah al-Qur’an akan memaklumi semua tingkahku. Padahal aku paham sekali, al-Qur’an itu pencemburu.

Bukankah telah beribu air mata untuk memperjuangkannya?

Kenapa setelah berhasil mendekap separuh hatinya, aku justru melangkah pergi? Seolah menyerah. Padahal, tinggal beberapa langkah lagi, hatinya berhasil ku dekap sepenuhnya.

Lagi-lagi aku tergugu.

Bohong sekali jika ada orang yang berkata tak butuh tempat bercerita.

Bahkan Allah memberi temu pada begitu banyak jenis manusia, untuk sedikit berbagi kisah, mendekap luka.

Kemudian aku berhenti.

Mendekap sisa asa dan target yang dimiliki.

Pada akhir paling pedih, akhirnya sadar.

Bukan lagi mimpi yang perlu direalisasi. Tapi bagaimana tetap bertahan pada kondisi saat ini.

Tetap merasa diri ini begitu berarti. Tetap mencintai diri sepenuh hati. Dan tidak menyalahkan diri seolah senantiasa menjadi beban keluarga.

Mungkin sama sepertiku, engkau boleh bertanya pada ayah ibu:

“Kenapa mereka ingin memiliki anak?”

Sungguh pada akhirnya, pada kemungkinan paling mungkin itu, pada harapan paling akhir, mereka hanya ingin agar doa tak pernah berhenti mengalir untuk mereka. Terutama setelah bumi meminta mereka kembali ke asal.

Maka, tetaplah menjadi dirimu yang tangguh seperti ini meski banyak luka. Menjadi engkau, dengan semua yang engkau usahakan saat ini.

Tak ada manusia yang selalu baik-baik saja. Tapi ketika mereka mengingat Tuhannya, dunia akan memberi dekapan agar mereka tetap kuat dan penuh syukur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Lagi-lagi) Tentang Kebaikan Tuhan

Seperti Halnya Kamu

Tolong Tetap Hidup