Aku Ingin Mendengar Kabar Kematianmu

Jumat malam, di penghujung Juni;
satu-satunya bulan yang tak pernah memiliki rekam atas jejakmu, meski kita telah melewati banyak hari dalam 5 tahun ini.

Seandainya ada kesempatan paling tepat untuk menyampaikan ini padamu, mungkin aku akan bersyukur sedemikian rupa.
Bukan agar engkau kembali, tapi agar engkau semakin merasakan luka yang telah kau toreh dengan kejam padaku.

Maka dari itulah aku menulis ini, dengan harapan ia bisa tiba di tanganmu, meski entah kapan.

Sejujurnya meski 424 hari telah berlalu dengan sendu, engkau masih belum juga enyah dari hati.
Aku paham sekali bagaimana kekejamanmu menusukku hingga ke inti jantung, tapi di sisa detak sekalipun aku masih ingin mencintaimu.

Jika engkau ingin menganggapku bodoh, maka aku sudah lebih dulu mengatakannya pada diriku sendiri.
Aku bahkan tak pernah tau apa alasan hati ini hanya memilihmu seorang.
Jadi tak usah terlalu repot untuk mencari alasan agar aku pergi, sebab aku tau, mau bagaimanapun aku tak pernah bisa pergi.

Sejatinya, kemarin saat aku tau bahwa engkau tak kalah menderitanya setelah menikamku saat itu, aku bahagia.
Bahkan kejamnya, aku berharap engkau dapat merasakan 1000x lebih pedih dari luka yang telah kau toreh.

Aku membencimu tapi juga teramat mencintaimu.
Karena itulah, setiap kali mengharap kematianmu, aku seperti akan ikut mati.
Bagaimana mungkin engkau pergi tapi tak mengembalikan hatiku pada tempat semula?
Seolah berharap aku dapat hidup dengan sisa kenangan yang telah kau buat, tanpa pernah memikirkan bagaimana menderitanya aku di sini menunggumu yang tak pernah kembali.

Aku merindukanmu, tapi juga ingin mendengar kabar kematianmu.
Aku menginginkanmu, sekaligus mengharap penderitaanmu.
Aku juga mengharap lukamu kian melebar, tapi sadar tak pernah sanggup melihatmu terluka, meski hanya seujung kuku.

Aku mencintaimu sekaligus menanti kabar kematianmu, Zee.

Juni, 30 2023.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Lagi-lagi) Tentang Kebaikan Tuhan

Seperti Halnya Kamu

Tolong Tetap Hidup