Bulan Kesepuluh


"Tidakkah engkau merindukanku juga, Tuan?“ 
Itu adalah pertanyaanku berbulan-bulan lalu, sebelum akhirnya diperkenalkan Tuhanku oleh satu hal lain, yang jauh lebih indah daripada senyumanmu.

Mungkin kemarin aku masih marah-marah, menuntut sebuah kata pamit, dan membencimu sedemikian rupa.

Tapi semesta telah mengajariku banyak hal, salah satunya tentang rasa yang tak pernah bisa dipaksa, sebagaimana pun kita menginginkannya. 

Dari sana pula, aku akhirnya bisa mengklaim kalimat "Bukan engkau lagi yang ku inginkan sekarang, Tuan" dengan ringan tanpa khawatir jika engkau benar-benar tak pernah kembali lagi.

Jika masih bersamamu, apakah aku akan menemukan sebanyak yang ku dapat kini?

Tentang keluhanku atas waktu yang sulit sekali diatur kini justru teratur sendiri, tentang kegundahan hati yang kadang tak menentu dan kini terasa lebih damai, tentang menikmati masa kini tanpa pikiran berlebih akan masa depan yang belum tentu kita akan berada di sana, tentang tidur malamku yang tak lagi kacau berantakan, tentang rasa tidak enakan yang sering menghancurkan target dan mimpiku tapi kini dapat ku tolak tanpa rasa bersalah, pun tentang banyak sekali senyum yang bisa ku dapatkan tanpa perlu mempertimbangkan hatimu lagi.

Aku mungkin belum seberani itu;
Mengunjungi tempat-tempat yang biasa kita sambut dengan tawa.
Tapi paling tidak, aku tidak takut lagi menyambut kegagalan yang rasa-rasanya kini sudah begitu akrab.

Aku juga tidak takut lagi jatuh cinta, sebab Tuhanku telah menciptakan segala hal dengan cinta.
Meski aku masih membenci mereka yang mengaku cinta, tapi memaksaku untuk terus ada.
Dan kadang-kadang, aku juga sering tak percaya jika ada manusia yang begitu baik. Entah karena ia mengharap hatiku atau apapun yang ada padaku.
Sebab kadang-kadang, sekedar senyum saja aku tak bersedia memberikannya.

Bukan karena seluruh hatiku sudah ku berikan padamu saat itu -sebab sebelum akhirnya berhenti menyusulmu, aku telah mengambil kembali semua yang telah ku beri-.

Meski ada banyak sekali manusia yang telah ku temui 10 bulan belakangan ini, ada satu manusia dari antah berantah, yang entah bagaimana, menjadi perantara Tuhanku untuk mengajakku melihat dunia yang begitu penuh warna.
Ia hadir begitu singkat, bahkan sebelum sempat aku memberinya nama.
Seolah menjadi definisi nyata; tentang seseorang yang datang untuk menyembuhkan luka, kemudian pergi tanpa meninggalkan luka baru.

Aku juga menemukan teman perjalanan, meski tak ku sambut dengan senyum pada awalnya.
Tapi ia tetap baik, sebaik engkau memperlakukanku dahulu.


Ah iya, aku juga sempat menemui kegundahan tentang sosok manusia, yang jika keadaan kita masih sama, engkau tak akan suka mendengarnya.

Dan terakhir, aku akhirnya bisa kembali mendekap mereka; manusia-manusia baik hati yang tetap dengan suka cita mengabariku banyak hal.
Tanpa pernah menuntutku tetap ada di sisinya, tapi terus merengkuhku dengan do'a-do'a.

Selamat 10 bulan!
Untuk aku, seseorang yang sering kali kesulitan bercerita, kemudian diperkenalkan Tuhanku denganmu yang suka sekali bercerita, hingga menjadi sebuah kesyukuran tak terkira.

Selamat menyambut hari-hari dengan warna baru.
Dan biarkan aku menjemput apa-apa yang sudah menjadi takdirku.

Tak usah berjumpa di masa depan, jika kau masih belum punya nyali untuk membalas lambaianku, yang kini bukan lagi bermakna semoga berjumpa kembali.
Tapi ucapan selamat tinggal untuk terakhir kali.

Curup, 02 Maret 2023 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Lagi-lagi) Tentang Kebaikan Tuhan

Seperti Halnya Kamu

Tolong Tetap Hidup