Kamu Mungkin Tak Mengenalku


Kamu mungkin tak mengenalku
Kala dunia sedang berpihak padamu
Kamu mungkin tak menginginkanku,
Kala manusia sedang memakai topeng cinta untukmu
Pun kamu mungkin tak memedulikanku,
Kala semua hal seolah bisa kau urus semuanya sendirian.

Aku tak lagi peduli apapun itu,
Toh manusia sama saja
Kenapa kita harus hidup berdampingan dalam kepalsuan?
Kamu mungkin tak mengenalku
Jika saja bukan sedang hancur berkeping
Dan Tuhanku mengenalkanmu padaku, melalui sajak-sajak patah yang tak pernah kita kira hadirnya.

Lalu, ada apa dengan luka?

Aku sering kali mendengar kalimat-kalimat bernada larangan tentang berharap pada manusia, tapi hampir tak pernah menemui kalimat yang mengingatkan untuk tidak memberi harapan.

"Kadang niat kita hanya berbuat baik, tapi ia berlebihan dalam berharap" ucap seseorang.

"Dia saja yang terlalu baperan. Toh aku tak pernah berniat apa-apa" ucap yang lain.

Padahal seharusnya, jika tak ingin melukai, tak usah bertemu manusia. Pun sama, tak usah hidup bersama manusia jika tak ingin dilukai.

Dulu ku kira tanggung jawab hanyalah sebuah karakter.
Jika ia memiliki itu, pantas menjadi seorang pemimpin, tak peduli perempuan atau laki-laki.

Tapi setelah mengenal seseorang, akhirnya aku sadar.
Tangung jawab seseorang bahkan bisa berpengaruh bagi kelangsungan hidup manusia lain.

Tepat 5 bulan setelah kejadian yang ku kira jika bukan karena Tuhanku, aku tak akan ada di dunia ini lagi.
Sebuah peristiwa yang mungkin bagimu sederhana, tapi sempat menghancurkan duniaku hingga lebur.

Aku bercerita bukan untuk membandingkan lukaku dengan lukamu yang mungkin lebih parah hingga bernanah itu.
Aku bercerita karena ingin mengabarkan, bahwa aku masih hidup setelah melewati badai yang ku kira akan mati bersamanya.

Badai yang setelah ia berlalu, justru mengubahku seperti sosok yang tak pernah ku kenal sebelumnya -ah tidak, dulu aku pernah membunuh sosok ini habis-habisan hingga tak lagi tersisa secuil pun. Tapi entah bagaimana, ia bisa kembali bangkit-.

Aku ketakutan ketika bertemu manusia.
Mereka memaksaku bercerita karena tak pernah mengucap kata apapun tentang hidupku.
Mereka menganggapku sibuk dengan dunia baruku, yang nyatanya masih lebur itu.
Mereka menilaiku manusia aneh, yang tak ingin didekap, padahal terus berdiri sendiri.

Padahal itu hanya karena satu hal: aku takut engkau menuntut kebaikan itu padaku, sementara aku tak bisa mengembalikannya dengan kondisiku yang tak baik itu.
Atau, aku takut engkau bosan dan pergi.
Sebab ketika mencintai, aku akan berubah menjadi manusia bodoh yang hanya tau memberi.

Aku sedang tak ingin terikat apapun.
Tak ingin diperlakukan baik bagaimana pun.
Juga tak ingin menerima basa-basi yang tak pernah ku ketahui asli atau tidaknya.

Jadi biarkan aku sendiri di sini. 
Jangan usik dengan kalimat-kalimat prihatin, tanpa pernah tau, bahwa aku tengah menikmati masa ini.

Tak usah berusaha masuk, kau ketuk saja, aku tak bersedia membuka pintunya.
Tapi jika kau mengajakku kabur melalui jendela, akan ku turuti dengan sepenuh jiwa.

Terima kasih untuk siapapun yang telah menghampiriku. Tak hanya mengenalkanku pada luka dan air mata, tapi juga tawa.

Kita telah belajar banyak tentang hidup yang tak mudah, terlebih jika satu-satunya sosok yang kita percayai menghancurkan kepercayaan itu.

Kita juga menang banyak, setelah mengenal berbagai trauma, terutama jika ia diciptakan oleh seseorang yang begitu rela kita korbankan apa saja.

Tapi, kita akan terlihat kalah ketika akhirnya memilih pasrah.
Padahal tengah menyerahkan semuanya pada Sang Maha Kuasa.

Ah, apapun itu.
Yakin saja pada apa yang telah dipilih.
Toh, setiap apa yg kita pilih memiliki resikonya masing-masing. Tinggal kita yang bagaimana mendekapnya.

Medan, 15 Oktober 2022



Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Lagi-lagi) Tentang Kebaikan Tuhan

Seperti Halnya Kamu

Tolong Tetap Hidup