Seolah Bisa Sendiri
Pukul 1 dini hari, dengan kedip yang kian berat dan kelopak yang tak boleh terpejam. Sudah terlalu larut sementara belum ada satupun yang terselesaikan.
Tadi, selepas melirihkan “mantra” berjuanglah sendiri, tak ada satupun yang peduli, diri berhasil mengumpulkan semangat ber-api meski kembali berhenti sebelum persimpangan. Sudah terlalu lelah dengan semua hal yang hanya dipikirkan dan dibiarkan menumpuk tanpa memaksa diri menyelesaikannya.
Mengumpulkan lagi asa, untuk menggenggam pena yang justru berakhir cerita.
Ada begitu banyak hal berkecamuk tapi tak bisa dikisahkan satu-satu. Terlalu kusut dan berbelit, sementara aku tak punya waktu untuk mengurainya.
Kemarin setelah mencermati jejak tulisan seseorang yang bagiku tampak begitu misterius itu, insecure yang sudah lama tak berkunjung, tiba-tiba datang. Memaksaku berhenti membaca tulisan-tulisan miliknya yang baru setengah jalan.
Mau bagaimanapun aku berjuang membantunya bangkit dari keterpurukan, aku harus terlebih dahulu memastikan mentalku tak turut jatuh berantakan.
Tapi tadi, selepas Isya aku kembali memberanikan diri, membaca kalimat demi kalimat dengan hati-hati sembari memberi telaah pada kalimat miliknya, dan menganalogikannya pada kehidupan nyata. Masih begitu misterius, hingga akhirnya aku tiba di titik kesadaran.
GILA!
Aku bahkan belum mengenal sosok yang sedang aku analisis!
Memberi tebak berdasar hasil telaah paragraf-paragraf miliknya tanpa informasi detail, ku kira adalah sebuah kebodohan.
Bagaimana bisa?
Aku sudah terlalu lelah, tapi waktu lagi-lagi mengingatkan; putaran detik tak pernah berhenti, dan justru kini (seperti) berdetak amat cepat.
Pelupuk hampir saja menggenang jika tak diingatkan akan Tuhanku tiba-tiba.
Gegas ku hampiri tempat berwudhu. Kenapa tak sedari tadi kau sadari? Bersikap hancur dan berantakan sendirian, seolah benar-benar bisa sendiri.
Padahal di detak yang bahkan lebih dekat dari nadi, hanya Rabb yang tak pernah pergi.
Curup, 20 Januari 2022
Komentar
Posting Komentar