Kembali


Pada detik yang entah, aku mencoba merangkai kalimat-kalimat itu lagi. Kalimat yang sebelumnya berhasil dilupakan penuh, bahkan tak pernah tiba untuk disampaikan pada siapa pun.

Kalimat, yang ku kira takkan pernah ada pembaharuan. Dan Juli yang penuh luka itu, benar-benar memberi kejutan.

Malam itu, dua puluh tiga lewat tiga belas. Ketika rasa bersalah sebab lagi-lagi mengundurkan diri dari memberi dekap, akhirnya berhasil memudar. Ketika semua huruf-huruf itu berhasil ku eja dengan benar dengan mempersembahkan nilai terbaik dari semua nilai yang ada. Ketika kamar berhasil terombak sempurna. Dan ketika mood benar-benar membuncah, hingga membuat diri mendadak jatuh cinta pada semua takdirNya.

Pada lembar-lembar yang hampir tak pernah ku baca ulang, kecuali sekedar mencari inspirasi untuk memberi asupan pada kerangka puisi. Malam itu, dua puluh tiga lewat tiga belas. Selepas membaca semua bagian dari lembar-lembar itu, dari awal hingga titik paling akhir. Seraya menggenggam benda kecil dan remeh yang tak pernah bermakna remeh -setidaknya bagi diriku sendiri-, sementara otak memberi ingat pada kalimat terjemahan di story wa milik seseorang yang ku kenal selama berada di kelas online Markaz, seorang pecinta ilmu yang juga punya dedikasi tinggi dalam pendidikan. "Kadangkala sesuatu yang tak ingin disampaikan, justru merupakan sesuatu yang seharusnya tersampaikan"

Kemudian pukul enam lewat delapan, ketika mata masih mengerjap-erjap dengan tubuh yang masih terbalut mukenah sambil terkantuk-kantuk. Kalimat "Ternyata ia masih tersimpan rapi, lengkap dengan klip plastiknya" milikku itu, seperti memberi kabar yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya.

Aku menatapnya berulang. Memastikan bahwa kalimat itu tidak salah sasaran. Menatapnya lamat-lamat, dan memberinya sedikit abai. Bagaimana bisa, khayalan tentang seorang putri manja yang selalu ku lukis dalam imajinasiku itu, detik itu, terasa amat nyata.

Kemudian memberi setuju pada mata yang meminta kembali ke dunia dongeng, yang tak punya stok luka. Berharap setelahnya, kerealistisan itu menyadarkanku sepenuhnya.

Tapi, enam lewat delapan itu benar adanya.

Memberi lambai pada jiwa. Memberi dekap pada rindu. Dan memberi hangat di pelupuk mata.

Kemudian, memberi janji pada tekad. Tak lagi peduli pada jatuh, terjun, dan kaburnya kisah pada dua tahun kemarin. Pun, tak lagi peduli pada kalimat yang sesungguhnya tengah ku persiapkan untuk kisah baru itu.

"Tuhan, aku hanya ingin melanjutkan kisahku. Tak peduli bagaimana akhirnya, aku hanya ingin kembali"



Komentar

Postingan populer dari blog ini

(Lagi-lagi) Tentang Kebaikan Tuhan

Seperti Halnya Kamu

Tolong Tetap Hidup