Sebuah Kisah Klasik; Episode Akhir Setelah Jatuh
Catatan perjalanan, Kamis 10 Juni 2021
Seharusnya, ia ku kisahkan pada Abi. Dengan segenap energi yang meluap-luap tak tertahan lagi. Tapi sepertinya Abi terlalu sibuk untuk sekedar mendengar kisah receh ini.
Hampir saja aku meledak, jika hari ini tak berhasil melangkah pergi. Ku cari tempat paling ramai tapi menenangkan itu sejak pagi. Entah bersebab hati yang sepi, atau aku yang datang terlalu pagi, taman itu hanya menyisakanku seorang diri.
Dengan senyum paling lebar yang dimiliki, aku kembali menetralkan diri. Membuka zoom, dan berusaha fokus pada materi yang sebenarnya hanya bisa ku pahami setelah ku tulis lengkap.
Kemudian memberi senyum ramah pada ibu dengan anak bayi yang digendongnya kala menawarkan bubur kacang hijau. "5000 aja kak" katanya. Aku tersenyum, tidak menggeleng, tidak mengangguk. Tapi bubur itu tiba di tanganku. Entah bagaimana prosesnya tadi.
Setelahnya, kembali menatap layar hp yang menampilkan materi. Dengan penjelasan dari vidio. Untung saja, Ustadz sedang izin tak memberi materi. Sehingga, fokus ku pada penyelesaian untuk meredakan emosi cukup terkendali.
Kau tau? Sebenernya, aku ingin berkisah. Padamu. Eh tidak. Maksudku, pada Abi. Tentang kisah klasik, yang selalu saja jadi sumber inspirasi. Apa itu? Episode terakhir dari jatuh cinta; Patah Hati.
Mengenaskan sih, tapi mau tak mau harus tetap dinikmati kan?
Aku pernah berkisah pada seseorang. Kataku; aku cuma pernah jatuh cinta 2 kali. Padanya yang sempat menerima sepenuh hati, dan pada seseorang lagi yang telah pamit pergi.
Meski faktanya, aku seperti manusia paling biasa di bumi. Sudah jatuh cinta berkali-kali. Pada Tuhanku yang Maha Tinggi, pada karunia yang Ia beri, pada makhluk-makhlukNya yang penuh kasih, pada alam semesta ciptaanNya yang begitu menakjubkan ini, dan pada banyak hal.
Tapi di episode ini, aku ingin berkisah tentang seorang anak manusia. Yang jiwanya tak pernah ku kenal siapa. Hanya kenal melalui kalimat pesan, postingan, dan kalimat yang keluar dari lisannya kala menjawab pertanyaan.
Aku pernah jatuh hati diam-diam meski diaryku tak turut diam. Dia mengisahkan semuanya, yang kemudian ku persilahkan semua orang membacanya. Pura-pura memendamnya lebih dari 4 tahun, hingga akhirnya menyerah dan memberi anggapan bahwa tak ada manusia yang dapat dipercaya.
Tapi belum 2 minggu ku temui sosok ini, kenapa diri justru kembali terjatuh. Padahal sebelumnya hati begitu tenteram sebab tak punya rasa. Yah, anggap saja original.
Dia yang terkadang semanis gulali, tapi suka mendadak menjadi gulali yang lupa diberi gula. (Nah jangan tanya bagaimana itu prosesnya). Waktuku hanya 1 minggu lagi. Dan aku sadar, sisi paling harus yang ku pilih adalah melupakan. Menganggapnya biasa saja. Sebagaimana ku anggap kalimat "Hai" dari abang-abang tukang modus itu.
Itulah kenapa, detik ini, dengan sedikit penyesalan kenapa tadi begitu meledak, hingga tawaran air minum ataupun bakso dari abang di kede-kede itu hanya ku jawab dengan gelengan kepala. Ya, seharusnya aku tadi sedikit menganggukkan kepala agar perjalananku tak tertunda.
Aku melangkah, dari masjid raya ke masjid agung Medan. Dengan langkah cepat yang dulu pernah diprotes sama abang-abang produk kesehatan karena langkahku tak terkejar. Masih menggunakan sepatu yang kemarin sempat membuat jariku terluka. Bukan tidak ada sepatu lain. Bukan juga karena terlalu cinta sepatu ini.
Tapi karena, rasa sakit yang diberinya, yang kemudian memaksaku berhenti di kursi cantik untuk mengetik kisah ini, tidak sesakit dan sekacau rasa yang tak jelas arah ini.
Sungguh aku tak ingin mengatakannya tertolak, toh aku tak pernah memintanya.
Cukup sadar diri saja kan ya?
Komentar
Posting Komentar